World Health Organization (WHO), (2020) menyatakan bahwa Corona Virus Disease-19 (Covid-19) sebagai pandemi dunia. Kondisi Pandemi Covid-19 ini akan berpengaruh kepada pembatasan sosial masyarakat termasuk kelompok kecil yaitu keluarga dan anak. Pandemi Covid-19 adalah krisis kesehatan yang pertama dan terutama di dunia.
Selama masa pandemi yang mengharuskan untuk terus menerus berada di rumah saja, hal ini tentu akan menimbulkan rasa bosan dan stress pada orang tua,terlebih anak. Perubahan ini akan berpengaruh pada keseharian anak yaitu aktivitas fisik dan kesehatan jiwa pada anak karena terjadi perubahan terlalu cepat. Pembatasan sosial ini membuat anak menjadi bosan karena mereka harus berdiam dirumah dan tidak berinterkasi dengan teman-temanya (Kemenkes 2020). Tabiiin (2020) dalam penelitianya mengatakan problema yang sering muncul ketika harus stay at home atau tinggal di rumah adalah stress, sensitifitas pada anak meninggi, temper-tantrum. manja dan tidak mandiri.
A. Kesehatan Mental
World Health Organization (WHO) memandang bahwa kesehatan mental sendiri adalah sebuah kondisi kesejahteraan yang secara sadar dilakukan oleh individu, maksudnya ialah dengan kesadaran diri, individu mampu mengolah stres atau gangguan-gangguan lainnya yang sering terjadi dalam kehidupan, untuk tidak mengalami kondisi keputusasaan, sehingga dalam menjalani aktivitas kehidupannya ia tetap produktif dan bisa menjadi pribadi yang ikut berperan dalam lingkungannya
kesehatan mental pada anak juga melibatkan kapasitasnya untuk dapat berkembang dalam berbagai area yakni: Moral dan agama,Motorik, kognitif ,sosial emosioal,bahasa dan seni .Oleh karenanya, penting bagi kita memahami tahapan perkembangan sebagai bentuk upaya untuk melihat adanya indikasi permalasahan pada perkembangan anak
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
Devi Sani menjelaskan bahwa ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa anak mengalami stres atau kesehatan mentalnya terganggu, yaitu secara umum perubahan dalam bentuk internalize problem dimana anak akan lebih menarik diri, lebih cemas, tidak ceria, kurang selera makan dan sebagainya dan externalize problem di mana anak terlihat seperti lebih agresif, mudah kesal, sulit kooperatif, melakukan kekerasan pada orang lain atau benda.”Hal seperti itu tentunya tidak akan terjadi jika orang tua mampu menstabilkan atau memaksimalkan kemampuan emosional anak.
Untuk mengetahui kesehatan mental anak, terlebih dahulu melihat faktor dalam diri anak, keluarga dan lingkungan. Faktor dalam diri anak seperti faktor genetic, temperamen, dan kesehatan fisik yang perlu diamati. Faktor dari keluarga yakni meliputi pola asuh orang tua yakni komunikasi yang dibangun antara orang tua dan anak serta kelekatan anak terhadap orang tua.
C. Pola Komunikasi Keluarga
Rahmawati dan Gazali (2018) menyebutkan pola komunikasi keluarga ialah suatu bentuk interaksi komunikasi dalam keluarga yang melibatkan ayah dan ibu sebagai komunikator dan anak sebagai komunikan. Komunikasi yang dilakukan pun secara sistematis, dapat saling mempengaruhi, serta adanya timbal balik antara keduanya atau dengan istilah komunikasi dua arah. Dalam perkembangannya, pola komunikasi keluarga pun dapat diidentifikasikan menjadi tiga pola yaitu:
- Pola komunikasi membebaskan / permissive yang ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesusai dengan keinginan anak. Pola komunikasi ini pun dikenal dengan pola komunikasi serba membiarkan, sebab orang tua bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, melindungi serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak secara berlebihan.
- Pola komunikasi otoriter, di mana orang tua justru melarang anaknya dengan mengorbankan otonomi Dalam pola komunikasi ini, sikap penerimaan orang tua terhadap anak sangat rendah, namun kontrolnya tinggi, mengharuskananak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, bersikap kaku dank eras, serta cenderung emosional sehingga sering memberikan hukuman padaanak.Pola komunikasi ini pun biasanya akan membuat anak merasa mudah tersinggung, penakut, pemurung dan merasa tidak bahagia, mengalami stress sertatidak bersahabat dengan orang lain.
- Pola komunikasi demokratis, pola ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Pada pola ini, baik orang tua maupun anak maupun orang tua membuat semacamaturanaturan yang disepakati bersama, dan orang tua juga mencoba menghargai kemampuan anak secara langsung.
D. Implementasi Pola Komunikasi Demokratis dalam Keluarga
Penerapan pola komunikasi demokratis dalam keluarga anak-anak menjadi pribadi yang terbuka dalam menyampaikan ide dan pendapat mereka, serta mengekspresikan perasaan yang dirasakan anak. Pada pola komunikasi demokratis ini, orang tua akan memberikan kebebasan kepada anak baik dalam belajar maupun bermain. Misalnya saat bermain, orang tua memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk memilih permainan yang akan dimainkan, akan tetapi orang tua akan menjelaskan terlebih dahulu tentang resiko dari akibat permainan tersebut, seperti bermain game online yang jika dimainkan secara lama akan membuat mata menjadi lelah dan lain sebagainya. Larangan tidak dilakukan oleh orang tua, sebab anak pun bisa diajak bekerjasama dalam mencari kesepakatan, dalam hal ini tidak bermain game online terlalu lama dan diberikan batasan waktu.
Dalam memelihara kesehatan mental anak, komunikasi keluarga sangatlah dibutuhkan untuk memberikan ruang kepada orang tua dan anak untuk bersikap saling terbuka sehingga tidak ada rahasia antara satu dengan yang lainnya. Sikap saling terbuka dalam sebuah keluarga, membuat orang tua dan anak dapat saling mendengarkan, untuk itu orang tua sudah seharusnya membangun komunikasi yang senyaman mungkin kepada anak terlebih pada situasi belakangan ini, di mana anak-anak harus tetap berada di rumah untuk menjalani karantina dalam usaha memutus rantai penularan virus corona. Renvil Reynaldi (2020) sebagai Psikater anak dan remaja menuturkan bahwa keadaan yang mengharuskan anak untuk berhenti melakukan kegiatan di luar rumah seperti bersekolah, olahraga atau bermain bersama teman yang tak bisa dilakukan bisa membuat anak sedih, tertekan bahkan sters. Karenanya, sebagai orang tua sudah seharusnya turut serta menjaga kesehatan mental anak, dengan memahami dan berempati pada anak dalam menghadapi situasi pandemi covid-19. Selain itu, kepekaan orang tua juga diminta untuk melihat perubahan pada mood anak di masa karantina mandiri ini, dan salah satu cara untuk mencari tahu apa yang anak rasakan adalah dengan mendengarnya bercerita, dengan memperhatikan dan menanggapi dengan benar apa yang anak rasakan bisa membuat dia merasa dihargai dan dimengerti. Pendeknya dalam masa seperti ini, orang tua seharusnya memberikan perhatian lebih pada anak untuk menghadapi kebosanan dan situasi yang tidak menentu agar mereka tidak stres atau depresi.
Pola komunikasi orang tua yang tidak berlebihan, tuntutan yang realistis akan berpengaruh terhadap rasa aman anak. Misalnya, untuk saat ini, komunikasi orang tua yang dibangun haruslah didasari oleh alasan-alasan mengapa pesan tersebut harus dilaksanakan, dalam hal ini mengapa anak tetap berada dirumah harus dilaksanakan karena untuk memutus rantai virus corona, serta memberikan pemahaman yang baik tentang virus corona, sangatlah memiliki berpengaruh yang signifikan terhadap kesehatan mental anak. Komunikasi yang dibangun dalam keluarga dengan efektif akan membuat hubungan antara anggota keluarga, dalam hal ini orang tua dan anak akan menjadi harmonis, dan tentunya keharmonisan keluarga akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan anak, baik tingkah laku anak, maupun mental anak, sehingga anak mampu mengembangkan hubungan yang baik tidak hanya dengan keluarganya, tetapi juga lingkungan luarnya yaitu masyaraka
Pandemi Covid-19 ini membawa dampak yang tidak sederhana bagi dunia anak-anak. Selain pada akses sosialnya bersama teman-teman disekolah, maupun eksplorasi dirinya dengan lingkungan sekitar. pola komunikasi keluarga yang merupakan bentuk interaksi antara orang tua dengan anak dalam keluarga memiliki implikasi yang sangat penting terhadap kesehatan mental anak. Pola komunikasi yang demokratis mampu memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan dan perkembangan mental anak. Dalam hal ini adalah sistem nilai yang berhubungan dengan kualitas-kualitas emosi anak, antara lain yaitu nilai-nilai tata karma, kesabaran dalam menyelesaikan masalah, serta toleransi yang menjadi dasar terbentuknya sikap empati dan bersahabat pada lingkungan anak. Anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, baik secara intelektual maupun emosional, yang dimana menjadi dasar bagi kesehatan mental .
Anak sangat memerlukan orang tua yang dapat menjadi teman bicara juga sahabat berbagi di berbagai kondisi, untuk itu orang tua sebaiknya membangun komunikasi yang baik agar anak merasa nyaman sehingga kondisi kesehatan mental anak tetap sehat, anak tetap ceria dan senantiasa gembira
DAFTAR PUSTAKA
Rohayani, F. (2020). Menjawab Problematika yang Dihadapi Anak Usia Dini di Masa Pandemi Covid-19. Qawwam, 14(1), 29-50.
Sejati, Y. G., Wati, I., & Fajriyah, N. (2020). Kebutuhan Mental Anak di Masa Pandemi Covid-19 Menurut Responden Peserta di Webinar” Bincang Asyik” PIAUD UMG. Jurnal Golden Age, 4(02), 282-289.
Iqbal, M., & Rizqulloh, L. (2020). Deteksi Dini Kesehatan Mental Akibat Pandemi Covid-19 Pada Unnes Sex Care Community Melalui Metode Self Reporting Questionnaire. PRAXIS, 3(1), 20-24.
Djayadin, C., & Munastiwi, E. (2020). Pola Komunikasi Keluarga Terhadap Kesehatan Mental Anak Di Tengah Pandemi Covid-19. Raudhatul Athfal: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 4(2), 160-180.